Maret 1618: Bima di Persimpangan Takdir — Pergulatan Iman, Darah, dan Kehormatan

Ihsan Iskandar

Ombak yang Membawa Takdir

Angin bertiup kencang di Teluk Bima, menghempaskan ombak ke lambung kapal Portugis yang terombang-ambing di lautan luas. Di atas geladak, Manuel Ferreira berdiri tegap, matanya menatap gelapnya cakrawala. Hujan gerimis membasahi wajahnya, tapi bukan dinginnya malam yang membuat tubuhnya bergetar. Ini adalah kegelisahan—perasaan yang sulit ia enyahkan, perasaan bahwa esok adalah hari penentu, hari yang akan menentukan nasib Bima dan misinya.

Di sampingnya, Pero d’Azevedo, seorang pelaut kawakan yang telah menaklukkan banyak lautan, menggenggam gagang pedangnya dengan erat. Ia tak suka ini. Ia lebih suka bertarung dengan musuh yang nyata, bukan melawan keyakinan dan budaya yang telah mengakar di tanah yang hendak mereka masuki.

Ferreira menghela napas panjang. Ia datang dengan harapan, tapi ia juga tahu, sejarah tanah ini telah ternoda oleh darah yang ditumpahkan bangsanya sendiri. Bagaimana bisa ia meyakinkan seorang raja untuk menerima cahaya Kristus, ketika rakyatnya masih menyimpan luka yang mendalam akibat serangan Portugis 16 tahun silam?

Di kejauhan, istana Raja Manuru Salisi berdiri kokoh di bawah sinar rembulan, menantikan pertemuan yang akan mengubah sejarah.

Pertemuan Dua Dunia

Fajar menyingsing ketika kapal Ferreira merapat di pelabuhan. Ia turun bersama rombongannya, berjalan dengan langkah yang penuh wibawa menuju istana. Di sepanjang perjalanan, rakyat Bima mengamati mereka dengan penuh curiga. Mereka tahu, orang-orang berkulit putih ini bukan hanya pedagang. Mereka membawa sesuatu yang lebih berbahaya dari pedang—agama dan ambisi.

Di dalam istana, Raja Manuru Salisi duduk di singgasananya. Jubah kebesarannya yang disulam benang emas memancarkan wibawa seorang pemimpin yang telah menyaksikan banyak badai sejarah. Di sampingnya, para penasihat dan panglima kerajaan berdiri dengan wajah tanpa ekspresi.

Ferreira melangkah maju. Dengan suara penuh keyakinan, ia berbicara.

“Yang Mulia, aku datang bukan hanya sebagai utusan Raja Portugal, tetapi sebagai utusan Raja Langit, Tuhan yang sejati. Aku membawa cahaya kebenaran, yang akan menyelamatkan rakyatmu dari kegelapan dan membawa perlindungan atas negerimu.”

Pero d’Azevedo menerjemahkan kata-kata itu dengan hati-hati. Namun, sorot mata Raja Manuru Salisi tetap tak terbaca. Matanya lebih tertuju pada peti hadiah yang dibawa Ferreira—emas, kain sutra, dan perhiasan berharga yang memancarkan kilauan di bawah cahaya pagi.

Kesunyian menggantung di ruangan itu. Ferreira menahan napas. Namun, ketika Raja Manuru Salisi akhirnya berbicara, suaranya terdengar dingin dan tegas.

“Aku akan memberikan jawabanku esok hari.”

Ferreira tahu, harapannya masih terbuka.

Keputusan yang Mengguncang

Malam itu, istana dipenuhi dengan bisikan dan diskusi. Para penasihat kerajaan berkumpul, memperdebatkan keputusan yang harus diambil. Ada yang berkata bahwa menerima agama Kristen berarti menerima perlindungan dari Portugis, tetapi ada juga yang mengingatkan luka lama yang belum sembuh.

Saat fajar menyingsing, Raja Manuru Salisi telah membuat keputusannya.

Di hadapan Ferreira, ia berdiri tegak, suaranya penuh ketegasan.

“Aku tidak akan memeluk agamamu, dan aku juga tidak akan memeluk Islam. Karena tidak ada agama yang dapat menghindarkan manusia dari kematian.”

Ferreira merasakan jantungnya seakan berhenti. Ia mencoba sekali lagi membujuk, mencoba meyakinkan dengan janji keselamatan, tetapi sang raja tetap tak tergoyahkan.

Ferreira menundukkan kepala. Ia tahu, misinya telah gagal.

Namun, harapan itu kembali menyala ketika beberapa hari kemudian, Pedro de Menezes tiba dengan kapal besar, membawa lebih banyak hadiah dan janji perlindungan. Sekali lagi, Ferreira mendekati sang raja, mencoba membujuknya dengan kekayaan dan kedamaian yang dijanjikan oleh orang-orang Portugis.

Raja Manuru Salisi mulai ragu. Tetapi sekali lagi, rakyat Bima menunjukkan keberanian mereka. Mereka menolak kehadiran Ferreira, mereka menolak segala bentuk intervensi asing di tanah mereka.

“Kami tidak menginginkan mereka di tanah kami,” ujar seorang penasihat dengan tegas.

Ferreira akhirnya harus pergi, tetapi ia pergi dengan hati yang berat. Namun, badai di lautan semakin memperburuk nasibnya. Kapalnya pecah, dan hanya sekoci kecil yang menyelamatkan nyawanya dan 60 orang lainnya. Ia akhirnya terdampar di tanah Jawa, jauh dari Bima yang telah menolak misinya.

Amarah Gowa yang Membara

Sementara itu, kabar tentang kedatangan Ferreira di Bima telah sampai ke telinga Sultan Alauddin dari Gowa. Amarahnya berkobar.

“Jika orang-orang Portugis mencoba mengubah keyakinan Bima, maka aku sendiri yang akan memastikan mereka menerima Islam dengan pedang!”

April 1618, sembilan kapal perang Gowa berlayar menuju Bima. Mereka bergerak cepat, menyerang kota, membakar rumah, dan menguasai pelabuhan. Raja Manuru Salisi, yang tetap teguh dengan kepercayaannya, terpaksa melarikan diri ke tengah hutan bersama rakyatnya. Mereka bertahan dalam kegelapan, di antara pepohonan lebat, sambil melihat tanah mereka dilahap oleh pasukan Makassar.

Namun, meskipun Gowa menguasai kota, rakyat Bima tetap tak tunduk. Dalam naskah-naskah kuno, tertulis dengan tegas:

“Tiada alah negeri Bima…”

Mereka menolak menyerah. Mereka menolak tunduk pada tekanan dan ancaman.

Sultan Alauddin pun sadar bahwa pedang tidak akan cukup untuk menaklukkan hati rakyat Bima. Maka ia mengubah strateginya. Gowa mengirimkan para ulama, bukan pasukan. Kali ini, Islam datang bukan dengan ancaman, tetapi dengan ajakan lembut dan penuh kedamaian.

Rakyat Bima yang telah lelah berperang mulai melihat Islam bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai harapan baru. Mereka mulai menerima ajaran itu, bukan karena paksaan, tetapi karena hati mereka telah terbuka.

Sementara itu, di dalam hutan, Raja Manuru Salisi merenungkan takdirnya. Ia telah menolak dua agama besar, ia telah menolak tunduk pada siapa pun. Tetapi kini, ia menyaksikan sendiri rakyatnya mulai berubah.

Dalam kesunyian malam, ia bertanya pada dirinya sendiri:

“Apakah ini takdir yang tidak bisa kuelakkan?”

Bima, Tanah yang Tak Pernah Takluk

Tahun demi tahun berlalu, dan akhirnya Islam menjadi bagian dari Bima. Tetapi satu hal yang tetap bertahan dalam sejarah: Bima tidak pernah benar-benar ditaklukkan. Mereka memilih keyakinan mereka sendiri, mereka menolak tunduk pada ancaman, dan mereka tetap berdiri tegak dalam badai sejarah.

Dan dalam hembusan angin di Teluk Bima, kisah mereka terus hidup, menjadi bagian dari tanah yang selalu mempertahankan kehormatannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *